Jumat, 18 Maret 2016

Jodohkan Saja (Part 1)

Jodohkan Saja! (PART 1)
Oleh : Rainy Okkie



Lombok tak lain pulau impian, sudah sejak lama Reva ingin mengunjunginya, meski akhirnya dia harus datang dalam suasana yang tidak tepat.

Dulu, di hari ulang tahun yang ke-17, Reva bermimpi mengelilingi pulau Lombok dengan perahu bersama seorang lelaki yang terus memeluk tubuhnya dari belakang. Lelaki dengan wajah samar yang mama bilang mungkin akan jadi jodohnya. Reva harap itu akan jadi kenyataan.

Tak pernah disangka pergi sendirian itu sangat menjenuhkan juga membingungkan. Satu jam duduk di pesawat cukup membuat pantat terasa panas. Belum lagi dia masih harus memikirkan mencari tempat menginap yang cocok. Cocok? Ah, dia bahkan belum tahu tempat mana yang akan dituju setelah ini. Sungguh akan sangat baik, kalau Irma ada bersamaku.

Lombok punya banyak pilihan tempat yang tentu akan membuat sakit kepala jika keindahan alam yang dijadikan bahan pertimbangan. Hampir semua wilayah menyuguhkan keindahan tersendiri, itulah yang Reva baca di beberapa artikel. 

Sayangnya bukan tempat indah yang tengah  dia cari, melainkan sebuah misi pemenuhan atas suatu mimpi. Mimpi yang harus segera menjadi nyata sebelum dia dinikahkan.

Hari sudah sore, sementara Reva belum juga menemukan satu nama untuk disinggahi. 

"Pak, antar saya ke hotel terdekat." 
pintanya kemudian masuk ke dalam taksi.

"Reva."

Waktu seolah berhenti sejenak dan memberinya beberapa detik untuk mengingat-ingat suara itu.

"Irma?" pekiknya saat menoleh.


Irma segera menarik Reva keluar taksi dan mereka berdua membungkuk sungkan, "Maaf, Pak. Kami belum mau pergi."

"Lepasin! Ngapain kamu di sini?" berontak Reva setelah mereka berjalan cukup jauh.

"Ya udah aku pulang kalau gitu. Tak-"

Dibungkamnya mulut Irma sebelum ada sopir taksi yang mendengar, "Iya iya, bukannya kamu bilang nggak mau peduli lagi dengan adikmu ini," gerutu Reva pura-pura kesal. Padahal dalam hati dia tengah bersyukur Irma bersedia juga menemaninya.

"Bukannya kamu bilang mau ngabisin waktu sendiri? Kalau aku ikut, jadinya ngabisin waktu berdua." Dengan gaya jaimnya, Irma menyilakan rambut pertanda dia datang dengan setengah hati.

"Yah maksudku, sendiri sebagai lajang. Kalau aku nikah nanti, hidupku kan terikat aturan ini itu, harus ijin tiap mau kemana-mana. Begini begitu nggak boleh."

"Pernah punya suami?"

Mata Reva membulat mendengar todongan Irma lalu sibuk memikirkan jawaban untuk membela diri.

Sebuah mobil berlogo Lombok Beauty berhenti di depan mereka dan membuyarkan semua kalimat pembelaan yang hampir tersusun sempurna.

"Udah jangan manyun gitu, ayo naik!" Irma melenggang mengitari mobil dan masuk dari pintu sebelah kanan.

Reva berdiri mematung, melongo keheranan.

"Silakan Nona!" sopir berperawakan kekar itu membukakan pintu seraya menyungging senyum, lumayan manis. Tak hanya itu, suaranya jernih dan penuh penekanan.

"Eh e iya iya. Thanks," tutur Reva gugup sambil mengangguk-anggukan kepala tak teratur dan masuk ke dalam mobil.

Mobil pun melaju, hanya mereka yang jadi penumpang. Reva menyandarkan punggungnya lega. Ia kini tak perlu lagi pusing memikirkan ke mana dan apa saja yang akan dia lakukan setelah ini. Meski ia juga tak habis pikir bagaimana wanita mungil di sebelahnya itu bisa bergerak begitu cepat bahkan  mendapatkan travel dengan sopir tampan.

"Bersembunyi di hotel masih kurang cukup ya, sampai harus lari ke Lombok?"

Reva menoleh si pemilik suara. Ohh, ternyata dia salah! Meski tidak marah, tetapi Irma masih bernafsu mengkritisi keputusannya cuti kerja tanpa alasan dan meninggalkan rumah.

"Eh siapa yang sembunyi?  Dan siapa juga yang lari? Alamat hotel kutinggalkan, rencana ke Lombok juga kujelaskan. Kalau aku mau lari ngapain juga ngajak kamu?" 

"Itu cuma karena kamu nggak yakin jalan sendirian."

Reva menoleh, memonyongkan bibir di-bully begitu. Apa yang dikatakan Irma benar. Dia sama sekali bukan wanita mandiri yang bisa melenggang tenang dan bertumpu pada dua kakinya. Nasibnya hampir selalu bergantung pada kartu kredit dalam dompet merah hati, kartu kredit yang tentu jadi tanggungan papa. Mengakui kenyataan itu, Reva tahu betul kabur adalah hal paling tidak mungkin bisa dia lakukan. Tapi aku bukan melarikan diri. Cuma menenangkan diri. 

Meski kepala Irma kecil mengimbangi tubuhnya yang mungil, tapi otaknya menyimpan wawasan yang luas, bahkan tentang apa saja. Pekerjaan, politik, apalagi soal cinta. Irma sudah seperti dukun yang selalu tepat memprediksi akhir hubungan Reva dengan kekasih-kekasihnya. Jadi dia memilih diam mendengarkan serangkaian omelan Irma yang kini lebih mirip jadi ibu tirinya.

Reva melirik sopir travel yang sesekali tersenyum menguping perkataan Irma. Sepertinya ia telah jadi bahan lelucon yang menyenangkan bagi sopir itu.

Namun melihat senyum yang begitu natural, Reva justru malah menikmati tiap mimik wajah lelaki si pemilik alis tebal tersebut. Hidungnya nampak mancung sekali dilihat dari tempatnya duduk. Rambutnya hitam lebat, agak ikal. Kulitnya coklat eksotis. Sayangnya dia cuma sopir travel.

Ah kenapa mata dan pikiranku jadi jelalatan begini? Cibirnya pada diri sendiri.

Sebenarnya bukan hanya sopir itu yang sudah mencuri perhatiannya hari ini.
Petugas check in bandara pun membuat Reva terkesima, bahkan hampir geer saat petugas itu melempar senyum penuh ketulusan, seolah senyum itu hanya untuknya. Tentu saja bukan. 

Dia sadar, semua itu hanya efek keputusasaan. Juga semacam pemaksaan akan hasratnya yang ingin menyeret lelaki dalam mimpinya ke kehidupan nyata.

"Nona-nona cantik, ke mana saya harus mengantar kalian?"

Spontan Reva terbangun dari rantai-rantai khayalan yang sudah menjuntai panjang dan menjulur ke mana-mana.

Sejak kapan sopir travel bertanya pada penumpang mau ke mana? Bukankah setiap travel sudah ada tujuan masing-masing?

Dipelototinya Irma, panik lalu berusaha mengatakan sesuatu tanpa mengeluarkan suara.

"Eh, baca mantra apa sih kamu, komat kamit gitu?"

Sial! Dasar, Irma. Apa kamu nggak ngerasa aneh sama tuh sopir? Dengus Reva kesal.

Seolah tahu apa maksud Reva, Irma pun menjelaskan, "Ini travel khusus, bisa kita sewa ke mana aja dan kapan aja. Mana mungkin aku nyewain kamu travel biasa, desak-desakkan? Udah sekarang kamu mau ke mana?"

Butuh waktu beberapa saat untuk mengantarkan kalimat Irma tadi sampai di gendang telinganya dengan selamat.

"E, ke mana ya, ke mana ya?" jawabnya gugup.

Irma melempar buku kecil, mirip buku guide, "Kalau aja aku tega biarin kamu jalan sendiri. Paling kamu sudah diculik orang."

Reva menoleh dan memamerkan bola matanya yang membulat ke arah Irma kemudian ke arah supir yang mencuri-curi menertawainya.

Irma benar-benar bikin image-ku jatuh di depan supir travel sok tahu itu. Hey, aku ini gadis dewasa yang sudah mau kawin! Bukan anak TK yang gampang tergiur sama permen lidi.

"Saya tahu beberapa tempat di Lombok. Biasa dikunjungi wisawatan yang sedang didera masalah."

Sopir itu angkat bicara, tidak ada hal melegakan sedikit pun dari ucapannya yang benar-benar-benar sok tahu kecuali suara jernihnya.

"Eh, aku bukan orang bermasalah. Bukan juga sedang kabur," diliriknya sopir yang ternyata memiliki bentuk rahang tegas lalu ganti melirik Irma yang segera merebut buku guide itu. "Perjalananku ini dalam rangka menikmati hidupku. Karena sebentar lagi aku harus melepasnya."

"Reva!"

Irma menghempaskan bukunya, kesal. Si sopir melirik spion, tersenyum memikirkan sesuatu.

"Emangnya siapa yang mau ngambil hidup kamu yang selalu ngrepotin itu? Yang tiap harinya harus dibuatkan jadwal dari bangun sampe tempat tidur lagi? Aku tahu perjodohan memang terlalu kuno, tapi aku yakin pilihan papamu pasti baik. Yang jelas lebih baik dari, Edo, Tyo, Rafli dan siapa itu yang gondrong yang ngakunya musisi tapi minta duit kamu terus buat bayar sewa studio."

Lah lah lah, Irma!

Reva pikir, dia harus segera minta papa membuatkan gembok untuk mengunci bibir Irma yang mulai lepas kontrol.

Dia sudah ngebongkar rahasiaku di depan sopir travel? Oh Tuhan, lihat sopir itu bahkan tak bisa menahan suara tawanya agar tidak terdengar. Reva memicingkan mata mendapati si sopir benar-benar tertawa.
Semoga aku tidak bertemu lagi denganmu setelah ini.

Ia kemudian menyadari sesuatu. Kenapa dia harus peduli dengan tingkah sopir itu? Sopir yang sudah barang tentu tidak akan dia temui lagi setelah mengantarkan mereka ke tempat tujuan.

"Bawa kami ke tempat paling menarik yang kamu tahu!" ketusnya kemudian seraya melipat tangan kesal dan membuang pandangan ke luar jendela.

Mobil melaju hening. Tidak ada percakapan, lebih tepatnya perdebatan lagi antara Reva dan Irma. Meskipun kesal dengan sikap Irma yang mendadak banyak bicara itu, tetapi jauh di dalam hati, Reva berterimakasih karena Irma bersedia datang. Keputusan yang menanggung resiko, kalau papa sampai tahu, bisa-bisa Irma kena strap karena dianggap sekongkol membantunya kabur.

Dari kaca spion, meski Reva berpura-pura kesal, tetapi si sopir menangkap aura kelegaan yang terpancar dari wajah wanita yang ia rasa kian menggemaskan. Wanita dengan gaya natural yang menyadari betul kepribadiannya dan tidak berusaha menutupi untuk menarik perhatian orang lain. Wanita yang Ia temukan tengah menangisi seekor kucing yang terkapar berlumur darah. Dan tidak  menyadari seseorang terpaku  heran melihat limbung dan gusarnya dia saat berusaha menyelamatkan kucing itu. Wanita yang ia yakini memiliki rasa kasih sayang dan ketulusan yang besar.

Setelah cukup lama melaju, mobil pun melewati jalan dengan bingkai keindahan pantai. Dan tak lama setelah itu mobil sudah sampai di pelabuhan Bangsal.

Waktu sudah pukul jam 7 malam, sejak pagi Reva belum makan kecuali sepotong roti gandum dan satu kotak susu. Mereka kemudian mampir di sebuah warung makan kecil, memesan dua porsi nasi goreng dan dua gelas teh manis. Selera yang selalu sama.

Reva melirik jalan raya, menelusuri dari ujung ke ujung sejauh matanya mampu menjangkau.

"Huh, ganteng-ganteng nggak tahu sopan santun. Main pergi nggak pamitan," gerutunya tanpa sadar.

"Siapa?"

"Sopir travel yang udah berani nertawain aku itu. Kamu si pake ngomongin perjodohan segala, mana nyebutin  mantan-mantanku lagi. Pasti dia pikir aku ini wanita bodoh, nggak laku lagi sampai dijodohin. Ah kamu nyebelin,"  protesnya panjang lebar.

Irma menatap wajah Reva yang sudah berubah bentuk dari cantik, jadi mirip orang sakit gigi. Bibirnya maju beberapa senti, pipinya yang gembil jadi tambah gembil.

"Eh, kenapa harus peduli sama penilaian dia. Meski kamu pinter atau bahkan primadona se Indonesia raya pun nggak ada hubungannya dan nggak ngaruh sama dia. Dia tetep jadi sopir kita selama di sini."

"Haa?"

Jodohkan Saja Part 2 baca di sini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar