Jumat, 18 Maret 2016

Jodohkan Saja (Part 3)

Jodohkan Saja Part 2 baca di sini


Jodohkan Saja Part 3

Reva kenal betul, siapa Irma. Wanita yang bertolak belakang dengan dirinya. Tidak mudah akrab dengan orang lain, karena Irma selalu membatasi diri untuk menerima orang-orang baru dalam hidupnya. Namun melihat kedekatannya dengan Tomo, bahkan tidak sungkan menggandeng tangannya, pastilah ada sesuatu. Mungkinkah Tomo jadi alasan kenapa Irma tiba-tiba merubah pikiran dan ikut ke Lombok?

"Saya akan antar Nona ke spot yang bagus. Beberapa spot hanya menampilkan terumbu karang yang sudah mati, tapi ada satu spot di mana Nona akan melihat ikan warna-warni yang berenang mengitari wajah Nona, penyu yang melambai-lambaikan tangannya. Hanya sedikit orang yang tahu letak spot itu," jelas si kusir mantap dan membuat Reva tersadar dari lamunannya.

"Baiklah, di mana tempatnya?"

"Di dekat hotel Villa Ombak. Saya akan antar Nona ke sana dan membantu menyewa peralatannya. Kebetulan teman saya berjaga di sana."

"Baguslah, aku juga menginap di hotel itu."
Cidomo berhenti di tepi pantai, si kusir membawa Reva ke pos penyewaan alat snorkeling dan ikut mendengarkan pengarahan dari si penyewa, yang diakui sebagai temannya.

"Dari tenda itu," si kusir menunjuk tenda dengan tirai merah jambu di tepi pantai,

"limapuluh meter dari sana Nona akan menemukan spot yang saya maksud."

"Revaaaa." Dua suara memanggil hampir berbarengan. Suara yang Reva kenal, suara yang sedang tidak ingin  dia dengar, suara milik orang-orang yang tidak ingin dia lihat. Irma dan Tomo.

"Reva kamu keterlaluan. Kamu tahu aku nyariin kamu sampai mau mati ngayuh sepeda? Kalau terjadi sesuatu, gimana aku jelasin sama Om? Kamu tahu aku rela batalin janji sama Dilan demi jagain kamu." Irma membanting sepeda yang dinaikinya ke pasir.

Sesaat Reva terkejut melihat Irma yang nampak begitu kesal lalu terduduk di pasir dengan napas terengah-engah. Namun kemudian pikirannya beralih pada kalimat Irma barusan. Papa? Jadi Irma datang karena papa? Bukan karena dia simpati padaku?

"Oh, jadi papa yang minta kamu ke sini? Irma aku bukan anak kecil. Aku sudah mau menikah. Kamu nggak perlu peduliin aku. Nikmati saja harimu sama sopir itu. Aku nggak butuh kalian."

Reva berlari ke bibir pantai dan bergegas naik ke kapal kecil yang kemudian membawanya ke tengah. Setelah memasang corong oksigen, sepatu katak dan kacamata, ia segera terjun setelah mendapat aba-aba.

Kusir itu benar, ikan-ikan kecil dengan warna dan bentuknya yang cantik menari gembira di sekitar wajahnya. Rumput-rumput laut bergoyang mengikuti arus yang tercipta dari kecipak sekian banyaknya ikan yang berenang.

Tiba-tiba Reva merasa kakinya begitu berat dan sulit untuk digerakan. Semakin dicoba untuk bergerak justru semakin ngilu. Sialnya tidak ada snorkeler lain di spot itu, dia berusaha berenang ke permukaan dengan satu kaki, tetapi tubuhnya timbul tenggelam. Tangannya melambai-lambai,  kemudian seseorang meraih tubuhnya dan membawanya ke tepi.

"Ada baiknya melakukan pemanasan sebelum menyelam." Orang itu membuka kacamatanya.

"Makasih," timpalku malu menyadari orang itu adalah Tomo.

"Kenapa tidak mengajak saya? Menemani snorkeling juga bagian dari tugas saya." imbuh Tomo seraya melepas kaki katak di kaki Reva.

"Rev," Irma mendekat seraya melepas kacamata selamnya, "Bisa nggak si kamu bersikap dewasa. Kalau kamu memang sudah bisa melakukan semua hal dengan benar tanpa memanggil namaku, itu akan sangat baik, aku akan punya waktu untuk diriku sendiri. Tapi melihat kamu seperti ini, apa aku bisa tinggal diam?"

"Iya, itu sebabnya kamu setuju dengan perjodohan itu. Biar kamu nggak perlu repot mengurusku, dan aku bakal jadi bahan lelucon keluarga suamiku karena nggak bisa melakukan sesuatu dengan benar. Kenapa nggak jelaskan ke papa, kalau kamu lelah melakukan pekerjaan yang bukan tanggung jawabmu."

"Revaa. Apa kamu belum tahu siapa papamu? Kamu pikir apakah dia akan sembarangan memilihkan calon suami untukmu?"

Ditatapnya mata Irma yang merah itu lekat-lekat. Reva  tidak pernah melihat Irma semarah ini, apa aku keterlaluan? Namun Reva  juga tidak berharap mengalami kram.

"Kamu tahu siapa yang om jodohkan denganmu? Aku sangsi jika kamu justru akan jatuh cinta padanya."

Mata besar Reva membulat, Irma tahu siapa lelaki itu? Itu sebabnya dia yakin mendukung rencana papa? Bagaimana bisa dia tidak tahu? Dia dan Irma bukan satu atau dua tahun bersama. Mereka sudah tinggal satu rumah sejak usia mereka empat tahun, sejak papa mengangkat Irma jadi keponakannya. Mereka sekolah dan kuliah bersama, dan kini juga bekerja di tempat yang sama, di kantor papa. Bagaimana dia tidak mengenali lelaki itu? Mungkinkah dia salah satu karyawan di perusahaan? Robi, Andrew, Yudis, Rangga atau Ferro?

"Siapa?"

"Kamu masih tanya siapa?"

"Sudahlah, jangan bertengkar terus. Kalian terlihat seperti nenek sihir kalau seperti ini. Kembalilah ke hotel." Tomo memapah Reva sementara Irma berjalan mendahului mereka setelah Tomo menggeleng padanya.

"Apa kamu sungguh tidak mau dijodohkan?" tanya Tomo ikut campur.

"Kamu pikir wanita mana yang mau dijodohkan?"

"Apa kalian sudah bertemu?"

"Bukan urusanmu."

"Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Bukankah orangtuamu memberi kesempatan untuk saling mengenal sebelum kalian menikah?"

Reva menghentikan langkah, menurunkan tangan Tomo dari pundaknya lalu menatap lelaki itu  tajam.

"Hey, kamu pikir cinta bisa datang tiba-tiba seperti di novel-novel romantis? cinta pada pandangan pertama? Apa kamu pernah dengar sebuah hubungan banyak menyimpan kepalsuan di awal. Apa kamu tahu, berapa lelaki yang pernah singgah dihatiku dan berapa lama mereka tinggal lalu pada akhirnya mereka menampakkan siapa mereka sebenarnya? Apa kamu tahu semua kecemasanku menjadi seorang istri yang nggak tahu apa-apa? Pekerjaan rumah tangga, memasak bahkan untuk segelas kopi sesuai seleranya saja aku nggak tahu.  Selama ini Irma yang membantuku melakukan semua hal. Apa kamu mengerti menikah jadi momok yang sangat menakutkan bagiku?" teriak Reva panjang lebar, mirip pelampiasan kekecewaan dan kekhawatiran yang selama ini disembunyikannya.

"Baiklah, maaf, maafkan saya. Lupakan perjodohan itu." Sesal Tomo seraya menghapus titik-titik air mata di pipi wanita yang ingin sekali dia bahagiakan.

"Berhentilah bicara, atau tinggalkan saja aku dan lakukan tugasmu. Irma yang menyewamu di sini. Bukan aku."

Reva berjalan terseok, menyeret kakinya yang terasa semakin sakit. Dia hampir terjatuh sebelum akhirnya Tomo menangkap dan membopongnya. Reva berpura meronta. Hanya berpura! Karena memang dia tak punya pilihan selain pasrah.

Entah kenapa mendengar detak jantung Tomo yang teratur dan berdentang mantap itu Reva merasa nyaman. Rambut Tomo yang agak ikal meneteskan air ke pelipisnya. Wajahnya begitu menenangkan. Reva buru-buru berpaling ketika Tomo menunduk dan menangkap tatapannya.

***

Malam mulai merambat,  Reva sudah menyadari kesalahannya. Dia hendak minta maaf, tapi entah darimana harus memulainya. Irma tidak juga mengucapkan sepatah kata pun. Reva lebih suka Irma memarahinya sekali lagi, dan saat itu dia akan segera minta maaf. Menegur Irma yang sedang membuka-buka majalah dengan santai seolah tak ada masalah antara mereka dan mengucapkan maaf, terkesan sangat melankolis baginya. Tetapi dia tidak akan bisa duduk tenang bila dia masih berhutang maaf.

Irma sudah seperti kakak perempuan yang menjelma jadi malaikat dalam hari-harinya. Sayangnya, Reva manusia biasa yang juga memiliki kesempatan untuk kecewa dan marah. Dia pikir, mereka akan menikmati liburan ini dengan penuh tawa. Melupakan semua hal yang terjadi di belakang, dan tak memusingkan apa yang akan terjadi esok atau lusa. Namun Irma justru nampak asik bersama Tomo, apa dia nggak merasa bersalah sama Dilan? Irma juga begitu ceplas-ceplos mengungkit perjodohan itu di depan Tomo padahal liburan ini justru cara yang Reva pilih untuk melupakannya.

Ah Kenapa lagi-lagi aku harus repot memikirkam Tomo?

Memang setelah kejadian tadi siang, Reva  menaruh sedikit simpati pada lelaki berdada lebar itu. Tomo juga lelaki yang bertanggung jawab. Mungkin dia adalah orang paling merepotkan dalam sejarah pekerjaan Tomo sebagai pemandu wisata. Reva juga mengakui dalam hati, bila dia merasa bahagia saat Tomo membopongnya tadi dan membuatnya merasa menjadi tokoh utama dalam kisah-kisah cinta di negeri dongeng. Mungkinkah cinta datang secepat ini?

Reva buru-buru menundukkan wajah. Bila pun memang cinta, tetap tak lagi berarti apa-apa. Ia tak yakin apakah itu bisa membatalkan perjodohannya karena dia juga tidak tahu, mungkinkah Tomo memiliki perasaan yang sama dengannya.
Pintu diketuk, Reva acuh berpura menikmati pemandangan dari balkon.

"Masuklah," ajak Irma ramah.

"Malam ini bulan purnama, party night sebentar lagi dimulai. Kalian akan menyesal kalau tidak turun," jelas Tomo meyakinkan.

Reva  melirik. Oh my god, apa Tomo bisa membaca kata hati orang lain? Dilihatnya Tomo yang tampil casual dan menawan dengan kaos ketat berkerah dipadu celana jeans, bukan celana resmi seperti saat menjadi supir. Penampilan yang pernah Reva harapkan sebelumnya.

"Party?"

Jawaban Irma membuat Reva terkesiap dan melanjutkan kepura-puraannya.

"Yup, kalian juga belum makan kan? Saya tahu restoran bagus dengan menu-menu Eropa yang pasti membuat kalian ketagihan."

Reva pura-pura tidak mendengar meski dalam hati dia bertanya-tanya, seperti apa makanan Eropa yang ada di sini?  Sesekali dia menggeliatkan tangan ke atas pura-pura menghirup udara dalam-dalam.

"Eh, sepertinya kamu tahu banyak tentang tempat-tempat di sini?" celetuk Irna antusias.

Reva tercenung, tangannya terangkat cukup lama. Pertanyaan konyol apa yang Irma katakan itu? Sudah barang tentu Tomo mengenal baik tempat ini. Justru akan jadi tanda tanya besar kalau Tomo tidak mengetahuinya. Benarkah Irma menyimpan rasa pada sopir itu sampai dia salah tingkah dan melontarkan pertanyaan tidak masuk akal dan tidak bermutu?

"Eh, em ya udah. Jangan bicara terus kita turun aja. Aku siap-siap dulu." Irma salah tingkah menyadari kesalahan kalimat yang sudah dia ucapkan. Sementara Tomo hanya mengernyit kening menanggapi kecerobohan Irma. Ternyata orang yang Reva anggap miss perfect itu juga bisa melakukan hal konyol serupa.

Irma lari ke kamar begitu cuek. Padahal Reva berharap-harap Irma datang menghampirinya dan berpura-pura menawarkan ajakan.

"Non Reva, tidak ganti baju?" tegur Tomo membuat Reva terkejut mendapati tubuh maskulinnya sudah berdiri di belakang. Sementara hatinya berbunga-bunga, meski Irma tidak mengajaknya tetapi Tomo mengharapkan kehadirannya.

"Ada yang salah sama bajuku?" timpalnya jaim dan buru-buru memasang raut wajah sinis.

"Baju tidur?" ucap Tomo ragu, lalu mengamati Reva yang gagal menyembunyikan ekspresi bahagianya.

"Yah, lucukah orang mau tidur pakai baju tidur?" sahut Reva masih pura-pura.

"Kita mau lihat party night, terus makan malam."

"Party? Ada party ya? Emm kalian aja. Aku nggak ingin merusak suasana lagi." ujarnya seraya beranjak ke dalam. Hatinya terus berdoa agar Tomo meraih tangannya dan mengajaknya sekali lagi. Memaksa bila perlu, dan dia akan segera mengangguk. Yang terjadi,  Tomo justru menepi memberi jalan. Reva benar-benar kesal.

Jodohkan Saja Ending baca di sini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar